Minggu, 19 April 2015

Uang dalam Persfektif Pemikiran Ekonomi



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang Masalah
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan untuk mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang atau jasa yang dihasilkannya.  Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi.
Jauh sebelum bangsa Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al-Quran secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai dinar dan dirham.

1.2              Rumusan Masalah
v  Bagaimana Uang Menurut Al-Ghazali?
v  Bagaimana Uang Menurut Ibn Taimiyah?
v  Bagaimana Uang Menurut Ibn Khaldun?

1.3              Tujuan
 Adapun tujuan saya menulis makalah ini agar para pembaca dapat mengetahui dan memperdalam lagi bagaimana sebenarnya uang dalam perspektif pemikiran islam.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Uang
            Dengan semakin berkembangnya kehidupan ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya kehadiran uang sebagai alat tukar.perkembangan tersebut didiringa dengan adanya penemuan emas dan perak yang berfungsi sebagai alaat tukar. Kemudian ada keinginan untuk menggunakan kertas sebagai uang. Ekonom menjelaskan, bahwa segala sesuatu bisa digunakan sebagi uang asalkan dapat diterima semua pihak untuk dijadikan sebagai alat tukar.
            Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktifitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundang-undangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajiban.[1]

2.2       Uang Menurut Pemikiran Al-Ghazali
            Tujuh ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The Wealth of Nations, seorang ulama islam bernama Abu Hamid al-Gazali telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, ada kalanya seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi bila kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan barang pihak yang kedua dan sebaliknya. Misalnya seseorang mempunyai onta dan membutuhkan baju, sedangkan orang lain membutuhkan onta dan mempunyai kain. Nah, berapa banyak kain yang ditukarkan dengan satu ekor unta?
            Al-Ghazali berpendapat, dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi pula sebagai media pertukaran. Namun, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut. Menurut al-Gazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat mereflesikan semua warna.
            Uang tidak mempunyai harga, tetapi mereflesikan harga semua barang. Atau dalam istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function ). Hanya, bila uang itu digunakan untuk membeli barang, barang itu akan memberi kegunaan. Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (indirect utility function). Apa pun debat paraekonomi tentang konvensi ini kesimpulan-nya tetap sama dengan al-Ghazali: uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Merujuk pada al-qur’an, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakanya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada yang kuasa dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang. Mengapa demikian? Menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamanya.[2]
            Dalam teori moneter modren, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Ini berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun peleburan uang saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat digunakan untuk melakukan transaksi.
            Peredaran uang palsu sangat dikecam. Dalam konteks zaman ini, uang palsu adalah uang yang kandungan emas dan peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah. Al-Gazali mengatakan bahwa mwncetak uang atau mengedarkannya sejenis itu lebih berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Alasan-nya, mencuri adalah salah satu dosa sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu yang lama.
            Lihatlah betapa jelinya al-Ghazali, dalam perekonomian modern, hal ini berarti pemerintah tidak boleh mencetak uang yang baru dengan nominal sama tetapi mempunyai nilai yang lebih lemah.
            Apakah uang harus selalu terbuat dari emas atau perak? Bagaiman dengan uang logam atau uang kertas seperti sekarang? Ini pun telah dibahas oleh Al-Ghazali. Beliau bahkan membolehkan peredaran uang yang sama sekali tidak mengandung emas dan perak asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar yang resmi.
            Menurut Al-Ghazali, perdagangan dinar dengan dinar ibarat memenjarakan uang sehingga uang tidak dapat menjalankan funsinya. Makin banyak uang yang diperdagangkan, makin sedikit yang dapat berfungsi sebagai alat tukar bila semua uang yang ada dipergunakan untuk membeli uang, tidak ada lagi uang yang dapat berfungsi sebagai alat tukar.
            Lihatlah perkembangan pasar uang dunia saat ini. Sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri. Hanya lima persen dari transaksi dipasar uang yang berkaitan dengan transaksi pasar barang dan jasa. Bahkan volume transaksi pasar barang dan jasa hanya lima 1,5 persen dibandingkan turn over transaksi dipasar uang.
            Buku Ihya Ulumuddin yang kita jadikan rujukan dikenal luas di indonesia, namun sayang kita lebih senang melihatnya dari satu sisi saja, yakni aspek tasawufnya, padahal buku itu mengandung teori-teori ekonomi yang tangguh.

2.3       Uang Menurut Pemikiran Ibn Taimiyah
            Ibnu Taimiyah menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda, Ia menyatakan :
“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.”
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu:
v  Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.
v  Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.100.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.
v  Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa.
Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.[3]
Berdasarkan pandangan tersebut, Ibnu Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti mengalih fungsikan uang dari tujuan yang sebenarnya. Jika uang harus ditukar dengan uang, maka pertukaran tersebut harus lengkap (taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul). Jika dua orang saling bertukar uang, yang salah satu di antara mereka membayar dengan kontan sementara yang lain berjanji akan membayarnya nanti, maka orang pertama tidak dapat menggunakan uang yang dijanjikan dalam transaksi tersebut sampai ia benar-benar dibayar. Hal ini menyebabkan orang pertama kehilangan kesempatan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah alasan Ibnu Taimiyah ketika menentang jual beli uang.
ü  Pencetakan Uang Sebagai Alat Tukar Resmi.
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut:
Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut.[4]
ü  Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai berikut :
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai berikut :
“Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsiknya mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur”.
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[5]
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi,. Akibatnya peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil.
Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam” menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi, yakni:
·         Perdagangan uang akan memicu inflasi.
·         Hilangnya kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan.
·         Perdagangan dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang.
·         Perdagangan internasional akan menurun.
·         Logam berharga (emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata uang akan mengalir keluar negeri.
Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang kepada barang yang lain.[6]

2.4       Uang Menurut Pemikiran Ibn Khaldun
            Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Ibnu Khaldun juga menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
§  Uang sebagai media transaksi
Uang menjadi media transaksi yang sah yang harus diterima oleh siapa pun bila ia ditetapkan oleh negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Berlaku juga cek sebagai alaat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima cek sebagai alat bayar.[7]
Sebaliknya emas dan perak tidak serta merta menjadi uang bila tidak ada stempel (sakkah) negara. Imam nawawi berkata,”makruh bagi rakyat biasa mencetak sendiri dirham dan dinar,sekalipun dari bahan yang murni sebab pembuatan tersebut adalaah wewenang pemerintah. Kemudian apabila dirham magsyusah tersebut dapat diketahui kadar campurannya, maka boleh menggunakannya baik dengan kebendaannya maupun nilainya. Adapun jika kadar campuran tersebut tidak diketahui, maka disini ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling shahih mengatakan hukumnya boleh. Sebab yang dimaksudkan adalah lakunya di pasaran. Dan campuran dari tembaga yang terdapat pada dirham tersebut tidak mempengaruhi, sebagaimana halnya adonan.
§  Uang sebagai media penyimpan nilai
Ibn khaldun megisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Ia menyatakan bahwa Allah Ta’ala menciptakan dari dua barang tambang, emas, dan perak,sebagai nilai untuk setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia kebanyakan.
§  Uang sebagai Ukuran Harga
Beliau menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran, maka keduanya bernilai sama.[8]


BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
Dari pengertian uang, maka definisi uang  dapat dibedakan dalam tiga segi. Pertama, definisi uang dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagai standar ukuran nilai, media pertukaran, dan alat bayar. Kedua, definisi uang menurut karakteristiknya, yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas oleh tiap-tiap individu. Ketiga, definisi uang dari segi peraturan perundangan sebagai segala sesuatu yang memiliki kekuatan hukum dalam menyelesaikan tanggungan kewajiban.
Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun defenisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah uang adalah nilai harga komoditas.
Dalam pengertian kontemporer, uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar atau perdagangan dan sebagai standar nilai.

3.2       Saran
            Dengan penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan mampu untuk mengaplikasikannya dengan baik.








DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005
Karim, Adiwarman,Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT Raja grafindo Persada,2011
Marthon,sa’id,Ekonomi Islam,Jakarta:Bestari Buana Murni,2004
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan eksklusif ekonomi islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007









[1] Mustafa edwin nasution, pengenalan eksklusif ekonomi islam, (jakarta: kencana prenada group, 2007), hal: 70
[2] Ibid, hal: 73
[3]Ahmad hasan, mata uang islam, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal: 45
[4] Ibid, hal: 46-47
[5] Said Sa’ad Marthon,Ekonomi Islam, (Jakarta:Bestari Buana Murni,2004), hlm.117
[6] Ibid, hal: 119-120
[7] Adiwarman A.Karim, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2011), hlm: 81
[8] Ibid, hal: 82-83

Tidak ada komentar:

Posting Komentar