BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan
semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain,
dan untuk mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang atau
jasa yang dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu
hal yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu
harus menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang
dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang
dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi
sebagai media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah
transaksi.
Jauh sebelum bangsa Barat menggunakan uang dalam setiap transaksinya, dunia
Islam telah mengenal alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, bahkan Al-Quran
secara eksplisit menyatakan alat pengukur nilai tersebut berupa emas dan perak
dalam berbagai ayat. Para fuqaha menafsirkan emas dan perak tersebut sebagai
dinar dan dirham.
1.2
Rumusan Masalah
v Bagaimana Uang Menurut Al-Ghazali?
v Bagaimana Uang Menurut Ibn Taimiyah?
v Bagaimana Uang Menurut Ibn Khaldun?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
saya menulis makalah ini agar para pembaca dapat mengetahui dan memperdalam
lagi bagaimana sebenarnya uang dalam perspektif pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Uang
Dengan
semakin berkembangnya kehidupan ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya
kehadiran uang sebagai alat tukar.perkembangan tersebut didiringa dengan adanya
penemuan emas dan perak yang berfungsi sebagai alaat tukar. Kemudian ada
keinginan untuk menggunakan kertas sebagai uang. Ekonom menjelaskan, bahwa
segala sesuatu bisa digunakan sebagi uang asalkan dapat diterima semua pihak
untuk dijadikan sebagai alat tukar.
Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktifitas ekonomi, yaitu media
atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi
kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundang-undangan menjadi alat bagi
pemiliknya untuk memenuhi segala kewajiban.[1]
2.2 Uang Menurut Pemikiran Al-Ghazali
Tujuh
ratus tahun sebelum Adam Smith menulis buku The
Wealth of Nations, seorang ulama islam bernama Abu Hamid al-Gazali telah
membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, ada kalanya
seseorang mempunyai sesuatu yang tidak dibutuhkannya dan membutuhkan sesuatu
yang tidak dimilikinya. Dalam ekonomi barter, transaksi hanya terjadi bila
kedua pihak mempunyai dua kebutuhan sekaligus, yakni pihak pertama membutuhkan
barang pihak yang kedua dan sebaliknya. Misalnya seseorang mempunyai onta dan
membutuhkan baju, sedangkan orang lain membutuhkan onta dan mempunyai kain.
Nah, berapa banyak kain yang ditukarkan dengan satu ekor unta?
Al-Ghazali
berpendapat, dalam ekonomi barter sekalipun uang dibutuhkan sebagai ukuran
nilai suatu barang. Misalnya, onta senilai 100 dinar dan kain senilai sekian
dinar. Dengan adanya uang sebagai ukuran nilai barang, uang akan berfungsi pula
sebagai media pertukaran. Namun, uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Uang diciptakan untuk melancarkan pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari
pertukaran tersebut. Menurut al-Gazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat mereflesikan semua warna.
Uang
tidak mempunyai harga, tetapi mereflesikan harga semua barang. Atau dalam
istilah ekonomi klasik dikatakan bahwa uang tidak memberi kegunaan langsung (direct utility function ). Hanya, bila
uang itu digunakan untuk membeli barang, barang itu akan memberi kegunaan.
Dalam teori ekonomi neo-klasik dikatakan bahwa kegunaan uang timbul dari daya
belinya. Jadi uang memberikan kegunaan tidak langsung (indirect utility function). Apa pun debat paraekonomi tentang
konvensi ini kesimpulan-nya tetap sama dengan al-Ghazali: uang tidak dibutuhkan
untuk uang itu sendiri.
Merujuk pada al-qur’an, Al-Ghazali mengecam
orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakanya sebagai penjahat. Yang
lebih buruk lagi adalah orang yang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan
emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur
kepada yang kuasa dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang.
Mengapa demikian? Menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari
peredaran, sedangkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamanya.[2]
Dalam
teori moneter modren, penimbunan uang berarti memperlambat perputaran uang. Ini
berarti memperkecil terjadinya transaksi sehingga perekonomian lesu. Adapun
peleburan uang saja artinya dengan mengurangi jumlah penawaran uang yang dapat
digunakan untuk melakukan transaksi.
Peredaran
uang palsu sangat dikecam. Dalam konteks zaman ini, uang palsu adalah uang yang
kandungan emas dan peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan pemerintah.
Al-Gazali mengatakan bahwa mwncetak uang atau mengedarkannya sejenis itu lebih
berbahaya daripada mencuri seribu dirham. Alasan-nya, mencuri adalah salah satu
dosa sedangkan mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang
setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya
dalam jangka waktu yang lama.
Lihatlah
betapa jelinya al-Ghazali, dalam perekonomian modern, hal ini berarti
pemerintah tidak boleh mencetak uang yang baru dengan nominal sama tetapi
mempunyai nilai yang lebih lemah.
Apakah
uang harus selalu terbuat dari emas atau perak? Bagaiman dengan uang logam atau
uang kertas seperti sekarang? Ini pun telah dibahas oleh Al-Ghazali. Beliau
bahkan membolehkan peredaran uang yang sama sekali tidak mengandung emas dan
perak asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar yang resmi.
Menurut
Al-Ghazali, perdagangan dinar dengan dinar ibarat memenjarakan uang sehingga
uang tidak dapat menjalankan funsinya. Makin banyak uang yang diperdagangkan,
makin sedikit yang dapat berfungsi sebagai alat tukar bila semua uang yang ada
dipergunakan untuk membeli uang, tidak ada lagi uang yang dapat berfungsi
sebagai alat tukar.
Lihatlah
perkembangan pasar uang dunia saat ini. Sebagian besar uang dipergunakan untuk
memperdagangkan uang itu sendiri. Hanya lima persen dari transaksi dipasar uang
yang berkaitan dengan transaksi pasar barang dan jasa. Bahkan volume transaksi
pasar barang dan jasa hanya lima 1,5 persen dibandingkan turn over transaksi dipasar uang.
Buku
Ihya Ulumuddin yang kita jadikan
rujukan dikenal luas di indonesia, namun sayang kita lebih senang melihatnya
dari satu sisi saja, yakni aspek tasawufnya, padahal buku itu mengandung
teori-teori ekonomi yang tangguh.
2.3 Uang Menurut Pemikiran Ibn Taimiyah
Ibnu Taimiyah
menyebutkan dua fungsi utama uang, yakni sebagai pengukur nilai dan media
pertukaran bagi sejumlah barang yang berbeda, Ia menyatakan :
“Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai
harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar
al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir
al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri
mereka sendiri.”
Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan
uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang
diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk
perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti
menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan
mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan
mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan
diperlakukan sebagai komoditas yaitu:
v Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang
dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli
barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan
intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena
itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.
v Komoditas mempunyai kualitas yang
berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp.100.000,- yang kertasnya
kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga
mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.
v Komoditas akan menyertai secara fisik
dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu
yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita
dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan
menanyakan bentuk uangnya seperti apa.
Islam menempatkan fungsi uang semata-mata
sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk
diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar)
sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya
waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.[3]
Berdasarkan pandangan tersebut, Ibnu
Taimiyah menentang keras segala bentuk perdagangan uang, karena hal ini berarti
mengalih fungsikan uang dari tujuan yang sebenarnya. Jika uang harus ditukar dengan uang,
maka pertukaran tersebut harus lengkap (taqabud) dan tanpa ada jeda (hulul).
Jika dua orang saling bertukar uang, yang salah satu di antara mereka membayar
dengan kontan sementara yang lain berjanji akan membayarnya nanti, maka orang
pertama tidak dapat menggunakan uang yang dijanjikan dalam transaksi tersebut
sampai ia benar-benar dibayar. Hal ini menyebabkan orang pertama kehilangan
kesempatan menggunakan uang tersebut untuk memenuhi kebutuhannya. Itulah alasan
Ibnu Taimiyah ketika menentang jual beli uang.
ü Pencetakan Uang Sebagai Alat Tukar Resmi.
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk.
Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata
uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata
uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata
uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham
ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk
transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi
pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus
dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan
tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin
memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya
fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai
berikut:
“Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas
dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi
masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka”.
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa
beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat,
total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku.
Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus
sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat)
dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik
mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak
seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan
menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi
koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah
uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah
untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak
uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang
dicetak tersebut.[4]
ü Mata Uang
yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk
akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia
mengambarkan hal ini sebagai berikut :
Ibnu Taimiyah
menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang
berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai berikut :
“Apabila penguasa membatalkan
penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi
masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena
jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah
melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka
miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsiknya mata uang tersebut
berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk
mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik
dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan
mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya.
Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur”.
Pada
pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas
masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur
memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi
sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak
memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang.
Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru, masyarakat
akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[5]
Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa
uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari
peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat
itu dengan kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas,
bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga,
sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih
memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya
tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah
produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak
masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi,.
Akibatnya peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan
kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya
Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang
Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil.
Ibnu Tamiyah dalam kitabnya “Majmu’ Fatwa Syaikhul Islam”
menyampaikan lima butir peringatan penting mengenai uang sebagai komoditi,
yakni:
·
Perdagangan
uang akan memicu inflasi.
·
Hilangnya
kepercayaan orang terhadap stabilitas nilai mata uang akan mengurungkan niat
orang untuk melakukan kontrak jangka panjang, dan menzalimi golongan masyarakat
yang berpenghasilan tetap seperti pegawai/ karyawan.
·
Perdagangan
dalam negeri akan menurun karena kekhawatiran stabilitas nilai uang.
·
Perdagangan
internasional akan menurun.
·
Logam berharga
(emas & perak) yang sebelumnya menjadi nilai intrinsic mata uang akan
mengalir keluar negeri.
Perdagangan uang adalah salah satu bentuk riba yang lebih banyak mudaratnya
daripada manfaatnya. Untuk itu, marilah kita kembali kepada fungsi uang yang sebenarnya
yang telah dijalankan dalam konsep Islam, yakni sebagai alat pertukaran dan
satuan nilai, bukan sebagai salah satu komoditi, dan menyadari bahwa
sesungguhnya uang itu hanyalah sebagai perantara untuk menjadikan suatu barang
kepada barang yang lain.[6]
2.4 Uang
Menurut Pemikiran Ibn Khaldun
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai
alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah
Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih
tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam
telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam
Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu
Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh
banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak
uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan
sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor
produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan
menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan
permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Ibnu Khaldun
juga menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya
uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara
tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang
sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector
produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi
merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga
kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar)
terhadap produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika
nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau
penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan
memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia
lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula
sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang
tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis
barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau
oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
§ Uang
sebagai media transaksi
Uang
menjadi media transaksi yang sah yang harus diterima oleh siapa pun bila ia
ditetapkan oleh negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain
seperti cek. Berlaku juga cek sebagai alaat pembayaran karena penjual dan
pembeli sepakat menerima cek sebagai alat bayar.[7]
Sebaliknya emas dan
perak tidak serta merta menjadi uang bila tidak ada stempel (sakkah) negara.
Imam nawawi berkata,”makruh bagi rakyat biasa mencetak sendiri dirham dan
dinar,sekalipun dari bahan yang murni sebab pembuatan tersebut adalaah wewenang
pemerintah. Kemudian apabila dirham magsyusah
tersebut dapat diketahui kadar campurannya, maka boleh menggunakannya baik
dengan kebendaannya maupun nilainya. Adapun jika kadar campuran tersebut tidak
diketahui, maka disini ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling shahih mengatakan hukumnya boleh. Sebab
yang dimaksudkan adalah lakunya di pasaran. Dan campuran dari tembaga yang
terdapat pada dirham tersebut tidak mempengaruhi, sebagaimana halnya adonan.
§ Uang
sebagai media penyimpan nilai
Ibn khaldun
megisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Ia menyatakan bahwa Allah Ta’ala
menciptakan dari dua barang tambang, emas, dan perak,sebagai nilai untuk setiap
harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia
kebanyakan.
§ Uang
sebagai Ukuran Harga
Beliau menegaskan
bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara
seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Dikatakan, unta
ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran, maka keduanya bernilai sama.[8]
BAB
III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari
pengertian uang, maka definisi uang dapat dibedakan dalam tiga segi.
Pertama, definisi uang dari segi fungsi-fungsi ekonomi sebagai standar ukuran
nilai, media pertukaran, dan alat bayar. Kedua, definisi uang menurut
karakteristiknya, yaitu segala sesuatu yang diterima secara luas oleh tiap-tiap
individu. Ketiga, definisi uang dari segi peraturan perundangan sebagai segala
sesuatu yang memiliki kekuatan hukum dalam menyelesaikan tanggungan kewajiban.
Menurut
Al-Ghazali dan Ibn Khaldun defenisi uang adalah apa yang digunakan manusia
sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media
simpanan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah uang adalah nilai harga komoditas.
Dalam
pengertian kontemporer, uang adalah benda-benda yang disetujui oleh masyarakat
sebagai alat perantara untuk mengadakan tukar-menukar atau perdagangan dan
sebagai standar nilai.
3.2 Saran
Dengan
penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan
mampu untuk mengaplikasikannya dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami. Jakarta;
PT Raja Grafindo Persada, 2005
Karim,
Adiwarman,Ekonomi Makro Islami, Jakarta:
PT Raja grafindo Persada,2011
Marthon,sa’id,Ekonomi Islam,Jakarta:Bestari Buana
Murni,2004
Nasution,
Mustafa Edwin, Pengenalan eksklusif ekonomi islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007
[1]
Mustafa edwin nasution, pengenalan
eksklusif ekonomi islam, (jakarta: kencana prenada group, 2007), hal: 70
[2]
Ibid, hal: 73
[3]Ahmad
hasan, mata uang islam, (jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 2005), hal: 45
[4]
Ibid, hal: 46-47
[5]
Said Sa’ad Marthon,Ekonomi Islam, (Jakarta:Bestari
Buana Murni,2004), hlm.117
[6]
Ibid, hal: 119-120
[7]
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Makro Islam,
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2011), hlm: 81
[8]
Ibid, hal: 82-83
Tidak ada komentar:
Posting Komentar