Minggu, 19 April 2015

Ekonimi Islam: Uang Dalam Persfektif Pemikiran Islam



BAB I
PENDAHULUAN

1.1              Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan ekonomi, uang mempunyai peranan yang cukup penting. Di antaranya, uang merupakan standar nilai atas kegiatan ekonomi yang ada, baik konsomsi, produksi, atau refleksi atas kekayaan dan penghasilan. Uang dapat memudahkan kita dalam melakukan barter atas barang dan jasa di antara individu masyarakat.
Dengan semakin berkembangnya kehidupan ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya kehadiran uang sebagai alat tukar.perkembangan tersebut didiringa dengan adanya penemuan emas dan perak yang berfungsi sebagai alaat tukar. Kemudian ada keinginan untuk menggunakan kertas sebagai uang. Ekonomi menjelaskan, bahwa segala sesuatu bisa digunakan sebagi uang asalkan dapat diterima semua pihak untuk dijadikan sebagai alat tukar.

1.2              Rumusan Masalah
Ø  Bagaimana pengertian uang?
Ø  Bagaimana uang menurut Al-Ghazali?
Ø  Bagaimana uang menurut Ibn Taimiyah?
Ø  Bagaimana uang menurut Ibn Khaldun?

1.3              Tujuan
Adapun tujuan saya menulis makalah ini agar para pembaca dapat mengetahui dan memperdalam lagi bagaimana sebenarnya uang dalam perspektif pemikiran islam.



BAB II
PEMBAHASAN

2.1       Pengertian Uang
Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktifitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundang-undangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajiban.[1]
Dalam kehidupan ekonomi, uang mempunyai peranan yang cukup penting. Di antaranya, uang merupakan standar nilai atas kegiatan ekonomi yang ada, baik konsomsi, produksi, atau refleksi atas kekayaan dan penghasilan. Uang dapat memudahkan kita dalam melakukan barter atas barang dan jasa di antara individu masyarakat.

2.2       Uang Menurut Al-Ghazali
            Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya, adalah  uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Al-Ghazali menyadari bahwa salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Sejarah perkembangan uang menurut Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawwadah) hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu: emas (al-Dzahab) dan Perak (al-Fidzah).
Ø  Evolusi Uang dan Permasalahan Barter
1)   Sistem Barter
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar barang dengan jalan “tukar ganti” (Muqayyadah), yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang , barang-barang diperdagangkan dengan barter ini.
Menurut Al-Ghazali dalam memenuhi kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan cara saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain. Karena saat itu mata tidak ada.
Pada dasarnya system barter terbatas pada beberapa jenis barang saja. Tetapi lama kelamaan setelah masyarakat mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus, sehingga system barter tersebut perlu direvisi, Al-Ghazali kemudian menganjurkan membentuk supaya ada lembaga keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan percetakan uang tersebut. Dan lembaga keuangan sekaligus pencetak uang yang disebut Dar al-Darb (lembaga percetakan). Berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan fungsi-fungsi administrasi negara.[2]
2)   Uang Barang (Commodity Money)
Selanjutnya al-Ghazali juga menyamakan antara menggunakan sistem barter dengan transaksi menggunakan uang barang. Karena menurut beliau pakaian, makanan, binatang, dan barang-barang lainnya dapat dipertukarkan sama halnya dengan fungsi uang. Berdasarkan hal ini al-Ghazali menyimpulkan bahwa uang barang adalah barang-barang yang dipergunakan dalam transaksi menggunakan system barter.
3)   Uang Logam
Berdasarkan pemaparan no 1 dan 2 di atas, kita bisa melihat bahwa al-Ghazali dengan teori evolusi uangnya dapat menggambarkan dengan jelas mengenai berlangsungnya peralihan dari sitem perekonomian barter menuju perekonomian yang menggunakan sistem mata uang logam, dalam hal ini dinar dan diram.
Ø  Riba dan Pertukaran Uang
Bagi al-Ghazali, larangan riba yang seringkali dipandang sama dengan bunga adalah mutlak. Terlepas dari alasan dosa, argumen lainnya yang menentang riba adalah kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi dan ketidakadilan dalam transaksi. Al-Ghazali tidak hanya mengharamkan riba, melainkan juga menganjurkan untuk menjauhin dan menghindari praktek trersebut. Menurut beliau, riba yang harus diwaspadai dalam transaksi bisnis adalah riba nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah adalah kelebihan yang diberikan atas keterlambatan seseorang dalam membayar utangnya kepada orang lain. Adapun yang dimaksud dengan riba fadl adalah tambahan yang dilakukan dalm suatu transaksi jual beli, dimana salah satu pihak menambahkan barang yang akan ditukarnya karena berbeda jenis antara kedua barang tersebut. Riba fadl ini biasanya terjadi dalam transaksi jual beli yang menggunakan sistem barter. Mengenai pertukaran uang dalam istilah al-Ghazali disebut sharf erat kaitannya dengan masalah riba. Al-Ghazali menyebutkan bahwa siapa saja yang melakukan transaksi pertukaran uang yang di dalamnya terdapat unsur riba, maka orang tersebut telah mengingkari nikmat Allah yang diberikan padanya dan telah berbuat zalim. Beliau hanya memperbolehkan pertukaran uang yang sejenis dan sama nilainya.
Ø  Penimbunan dan Pemalsuan Uang
Selain melarang praktek riba, al-Ghazali juga melarang praktek penimbunan dan pemalsuan uang. Hal itu dikarenkan bila uang ditimbun maka yang terjadi adalah kelangkaan produktivitas dan menimbulkan lonjakan harga yang pada akhirnya akan melumpuhkan roda perekonomian. Begitu pula dengan praktek memalsukan uang. Menurut al-Ghazali mencetak dan mengdarkan uang palsu lebih berbahaya ketimbang mencuri uang sebesar seribu dirham, karena perbuatan mencuri adalah suatu dosa yang hanya dicatat sekali, sedangkan dosa dari perbuatan memalsukan dan mengedarkan uang palsu adalah berlipat ganda, setiap kali uang tersebut dipergunakan.

2.3       Uang Menurut Ibn Taimiyah
            Ibnu Taimiyah/ Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim (661-728 H/1263-1328 M) lahir di kota Harran pada tanggal 22 Januari 1263 M/ 661 H, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir, hadis, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang handal. Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil, mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.[3]
Ø  Fungsi Uang dan Perdagangan Uang.
Dalam hal uang, beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang  adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapakan sebagai berikut:
”Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.’’
            Pada kalimat terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan. Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan diperlakukan sebagai komoditas yaitu:
1)      Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.
2)      Komoditas mempunyai kualitas yang berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp. 100.000,- yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya sama.[4]
3)      Komoditas akan menyertai secara fisik dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu yang dijual di showroom. Sementara uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa. Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur ketidakpastian atau spekulasi (gharar) sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan (hulul). Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah hal itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. melarang jenis transaksi seperti ini.
Ø  Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi.
Ibnu Taimiyah hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil, maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut:
”Penguasa seharusnya mencetak fulus (mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.”
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat, total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku. Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun, termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang termasuk kategori token money, semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan:
MV = PT
Dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V (Velocity) adalahkecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat. Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain, konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan (tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
Ø  Mata Uang yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia mengambarkan hal ini sebagai berikut :
“Apabila penguasa membatalkan penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsiknya mata uang tersebut berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya. Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.”
            Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat yang akan terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa yang tidak memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru, masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[5]
            Di bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi,. Akibatnya peredaran Dinar sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan sistem moneter pada waktu itu tidak stabil.[6]

2.4       Uang Menurut Ibn Khaldun
            Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Dalam sejarah perekonomian Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Ibnu Khaldun juga menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Ø  Uang sebagai Ukuran Harga
Imam Ghazali (w. 505 H) menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah di antara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya. Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran, maka keduanya bernilai sama.
Ø  Uang sebagai media transaksi
Uang menjadi media transaksi yang sah yang harus diterima oleh siapa pun bila ia ditetapkan oleh negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Berlaku juga cek sebagai alaat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima cek sebagai alat bayar.[7]
Umar bin khattab berkata,”saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang berkata,’ kalau begitu unta akan punah’ maka aku batalkan keinginan tersebut”
Sebaliknya emas dan perak tidak serta merta menjadi uang bila tidak ada stempel (sakkah) negara. Imam nawawi berkata,”makruh bagi rakyat biasa mencetak sendiri dirham dan dinar,sekalipun dari bahan yang murni sebab pembuatan tersebut adalaah wewenang pemerintah. Kemudian apabila dirham magsyusah tersebut dapat diketahui kadar campurannya, maka boleh menggunakannya baik dengan kebendaannya maupun nilainya. Adapun jika kadar campuran tersebut tidak diketahui, maka disini ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling shahih mengatakan hukumnya boleh. Sebab yang dimaksudkan adalah lakunya di pasaran. Dan campuran dari tembaga yang terdapat pada dirham tersebut tidak mempengaruhi, sebagaimana halnya adonan.
Ø  Uang sebagai media penyimpan nilai
Ibn khaldun megisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Ia menyatakan bahwa Allah Ta’ala menciptakan dari dua barang tambang, emas, dan perak,sebagai nilai untuk setiap harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia kebanyakan.[8]

















BAB III
PENUTUP

3.1       Kesimpulan
            Uang adalah pengganti materi terhadap segala aktifitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundang-undangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajiban.
            Menurut Al-Ghazali dan Ibn Khaldun defenisi uang adalah apa yang digunakan manusia sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media simpanan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah uang adalah nilai harga komoditas.
Dengan semakin berkembangnya kehidupan ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya kehadiran uang sebagai alat tukar.perkembangan tersebut didiringa dengan adanya penemuan emas dan perak yang berfungsi sebagai alaat tukar. Kemudian ada keinginan untuk menggunakan kertas sebagai uang. Ekonomi menjelaskan, bahwa segala sesuatu bisa digunakan sebagi uang asalkan dapat diterima semua pihak untuk dijadikan sebagai alat tukar.

3.2       Saran
            Dengan penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan mampu untuk mengaplikasikannya dengan baik.







DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami. Jakarta; PT Raja Grafindo Persada, 2005
Karim, Adiwarman,Ekonomi Makro Islami, Jakarta: PT Raja grafindo Persada,2011
Marthon,sa’id,Ekonomi Islam,Jakarta:Bestari Buana Murni,2004
Nasution, Mustafa Edwin, Pengenalan eksklusif ekonomi islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007








[1] Mustafa edwin nasution, pengenalan eksklusif ekonomi islam, (jakarta: kencana prenada group, 2007), hal: 70
[2] Ibid, hal: 73-74
[3] Ahmad hasan, mata uang islam, (jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal: 45
[4] Ibid, hal: 46-47
[5] Said Sa’ad Marthon,Ekonomi Islam, (Jakarta:Bestari Buana Murni,2004), hlm.117
[6] Ibid, hal: 119-120
[7] Adiwarman A.Karim, Ekonomi Makro Islam, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2011), hlm: 81
[8] Ibid, hal: 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar