BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang Masalah
Dalam kehidupan
ekonomi, uang mempunyai peranan yang cukup penting. Di antaranya, uang
merupakan standar nilai atas kegiatan ekonomi yang ada, baik konsomsi,
produksi, atau refleksi atas kekayaan dan penghasilan. Uang dapat memudahkan
kita dalam melakukan barter atas barang dan jasa di antara individu masyarakat.
Dengan semakin
berkembangnya kehidupan ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya kehadiran
uang sebagai alat tukar.perkembangan tersebut didiringa dengan adanya penemuan
emas dan perak yang berfungsi sebagai alaat tukar. Kemudian ada keinginan untuk
menggunakan kertas sebagai uang. Ekonomi menjelaskan, bahwa segala sesuatu bisa
digunakan sebagi uang asalkan dapat diterima semua pihak untuk dijadikan sebagai
alat tukar.
1.2
Rumusan
Masalah
Ø
Bagaimana pengertian uang?
Ø
Bagaimana uang menurut Al-Ghazali?
Ø
Bagaimana uang menurut Ibn Taimiyah?
Ø
Bagaimana uang menurut Ibn Khaldun?
1.3
Tujuan
Adapun tujuan
saya menulis makalah ini agar para pembaca dapat mengetahui dan memperdalam
lagi bagaimana sebenarnya uang dalam perspektif pemikiran islam.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Uang
Uang adalah pengganti materi
terhadap segala aktifitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada
pemiliknya daya beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan
perundang-undangan menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala
kewajiban.[1]
Dalam kehidupan
ekonomi, uang mempunyai peranan yang cukup penting. Di antaranya, uang
merupakan standar nilai atas kegiatan ekonomi yang ada, baik konsomsi,
produksi, atau refleksi atas kekayaan dan penghasilan. Uang dapat memudahkan
kita dalam melakukan barter atas barang dan jasa di antara individu masyarakat.
2.2 Uang Menurut Al-Ghazali
Jauh sebelum Adam Smith menulis buku “The
Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu Hamid al-Ghazali dalam
kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang dalam perekonomian. Beliau
menjelaskan, uang berfungsi sebagai media penukaran, namun uang tidak
dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya, adalah uang diciptakan
untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran
tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang
diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua
warna. Maknanya adalah uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga
semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak
memberikan kegunaan langsung (direct utility function), yang artinya adalah
jika uang digunakan untuk membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan
kegunaan.
Al-Ghazali menyadari
bahwa salah satu penemuan terpenting dalam perekonomian adalah uang. Sejarah
perkembangan uang menurut Al-Ghazali, dimulai dari barter (al-Mufawwadah) hingga pada penggunaan logam mulia, yaitu: emas (al-Dzahab) dan Perak (al-Fidzah).
Ø Evolusi
Uang dan Permasalahan Barter
1) Sistem
Barter
Barter (al-Mufawwadah) dilakukan dengan
cara langsung menukarkan barang dengan barang. Melakukan kegiatan tukar menukar
barang dengan jalan “tukar ganti” (Muqayyadah),
yakni memberikan suatu barang yang dibutuhkan orang lain dan untuk mendapatkan
barang gantian yang dibutuhkan. Sebelum pertukaran dengan uang berkembang ,
barang-barang diperdagangkan dengan barter ini.
Menurut Al-Ghazali dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya, manusia telah melakukan kegiatan bisnisnya melalui
transaksi jual beli. Ia mengakui bahwa dulu perdagangan atau jual beli telah dikenal
banyak orang, akan tetapi cara sederhana yang mereka pergunakan adalah dengan
cara saling tukar menukar barang dengan barang yang dimiliki oleh orang lain.
Karena saat itu mata tidak ada.
Pada dasarnya system barter terbatas
pada beberapa jenis barang saja. Tetapi lama kelamaan setelah masyarakat
mengenal spesialisasi, cara barter semakin tidak sesuai lagi, karena sulit
sekali untuk menemukan pihak lain yang kebetulan sekaligus, sehingga system
barter tersebut perlu direvisi, Al-Ghazali kemudian menganjurkan membentuk
supaya ada lembaga keuangan yang kemudian mengurus tentang pembuatan dan
percetakan uang tersebut. Dan lembaga keuangan sekaligus pencetak uang yang
disebut Dar al-Darb (lembaga
percetakan). Berfungsi sebagai aktivitas moneter terpusat, guna mengefektifkan
fungsi-fungsi administrasi negara.[2]
2) Uang
Barang (Commodity Money)
Selanjutnya al-Ghazali juga menyamakan
antara menggunakan sistem barter dengan transaksi menggunakan uang barang.
Karena menurut beliau pakaian, makanan, binatang, dan barang-barang lainnya
dapat dipertukarkan sama halnya dengan fungsi uang. Berdasarkan hal ini
al-Ghazali menyimpulkan bahwa uang barang adalah barang-barang yang
dipergunakan dalam transaksi menggunakan system barter.
3) Uang
Logam
Berdasarkan pemaparan no 1 dan 2 di
atas, kita bisa melihat bahwa al-Ghazali dengan teori evolusi uangnya dapat
menggambarkan dengan jelas mengenai berlangsungnya peralihan dari sitem
perekonomian barter menuju perekonomian yang menggunakan sistem mata uang
logam, dalam hal ini dinar dan diram.
Ø Riba
dan Pertukaran Uang
Bagi al-Ghazali, larangan riba yang seringkali dipandang
sama dengan bunga adalah mutlak. Terlepas dari alasan dosa, argumen lainnya
yang menentang riba adalah kemungkinan terjadinya eksploitasi ekonomi dan
ketidakadilan dalam transaksi. Al-Ghazali tidak hanya mengharamkan riba,
melainkan juga menganjurkan untuk menjauhin dan menghindari praktek trersebut.
Menurut beliau, riba yang harus diwaspadai dalam transaksi bisnis adalah riba
nasi’ah dan riba fadl. Riba nasi’ah adalah kelebihan yang diberikan atas
keterlambatan seseorang dalam membayar utangnya kepada orang lain. Adapun yang
dimaksud dengan riba fadl adalah tambahan yang dilakukan dalm suatu transaksi
jual beli, dimana salah satu pihak menambahkan barang yang akan ditukarnya
karena berbeda jenis antara kedua barang tersebut. Riba fadl ini biasanya
terjadi dalam transaksi jual beli yang menggunakan sistem barter. Mengenai
pertukaran uang dalam istilah al-Ghazali disebut sharf erat kaitannya dengan
masalah riba. Al-Ghazali menyebutkan bahwa siapa saja yang melakukan transaksi
pertukaran uang yang di dalamnya terdapat unsur riba, maka orang tersebut telah
mengingkari nikmat Allah yang diberikan padanya dan telah berbuat zalim. Beliau
hanya memperbolehkan pertukaran uang yang sejenis dan sama nilainya.
Ø Penimbunan
dan Pemalsuan Uang
Selain melarang praktek riba, al-Ghazali juga melarang
praktek penimbunan dan pemalsuan uang. Hal itu dikarenkan bila uang ditimbun maka
yang terjadi adalah kelangkaan produktivitas dan menimbulkan lonjakan harga
yang pada akhirnya akan melumpuhkan roda perekonomian. Begitu pula dengan
praktek memalsukan uang. Menurut al-Ghazali mencetak dan mengdarkan uang palsu
lebih berbahaya ketimbang mencuri uang sebesar seribu dirham, karena perbuatan
mencuri adalah suatu dosa yang hanya dicatat sekali, sedangkan dosa dari
perbuatan memalsukan dan mengedarkan uang palsu adalah berlipat ganda, setiap
kali uang tersebut dipergunakan.
2.3 Uang Menurut Ibn Taimiyah
Ibnu Taimiyah/ Taqiyuddin Ahmad bin Abdul Halim (661-728
H/1263-1328 M) lahir di kota Harran
pada tanggal 22 Januari 1263 M/ 661 H, dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
ulama besar mazhab Hambali. Tradisi lingkungan keilmuan yang baik ditunjang
dengan kejeniusannya telah mengantarkan beliau menjadi ahli dalam tafsir,
hadis, fiqih, matematika dan filsafat dalam usia masih belasan tahun. Selain
itu beliau terkenal sebagai penulis, orator dan sekaligus pemimpin perang yang
handal. Cukup banyak karya-karya pemikirannya termasuk dalam bidang ekonomi
yang dihasilkan. Pemikiran ekonomi beliau banyak terdapat dalam sejumlah karya
tulisnya, seperti Majmu’ Fatawa Syaikh Al-Islam, As-Siyasah Asy-Syar’iyyah fi
Ishlah Ar-Ra’i wa Ar-Ra’iyah, serta Al-Hasbah fi Al-Islam. Pemikiran ekonomi
beliau lebih banyak pada wilayah makro ekonomi, seperti harga yang adil,
mekanisme pasar, regulasi harga, uang dan kebijakan moneter.[3]
Ø Fungsi Uang dan Perdagangan Uang.
Dalam hal uang,
beliau menyatakan bahwa fungsi utama uang
adalah sebagai alat pengukur nilai dan sebagai media untuk memperlancar
pertukaran barang. Hal itu sebagaimana yang beliau ungkapakan sebagai berikut:
”Atsman (harga atau yang dibayarkan sebagai harga, yaitu uang) dimaksudkan
sebagai pengukur nilai barang-barang (mi’yar al-amwal) yang dengannya jumlah
nilai barang-barang (maqadir al-amwal) dapat diketahui; dan uang tidak pernah
dimaksudkan untuk diri mereka sendiri.’’
Pada kalimat
terakhir pernyataannya tersebut (…dan uang tidak pernah dimaksudkan untuk diri
mereka sendiri), sebagaimana yang diungkapkan juga oleh Al-Ghazali, menunjukkan
bahwa beliau menentang bentuk perdagangan uang untuk mendapatkan keuntungan.
Perdagangan uang berarti menjadikan uang sebagai komoditas yang dapat
diperdagangkan, dan ini akan mengalihkan fungsi uang dari tujuan yang
sebenarnya. Terdapat sejumlah alasan
mengapa uang dalam Islam dianggap sebagai alat untuk melakukan transaksi, bukan
diperlakukan sebagai komoditas yaitu:
1) Uang tidak mempunyai kepuasan intrinsik (intrinsic utility) yang dapat memuaskan
kebutuhan dan keinginan manusia secara langsung. Uang harus digunakan untuk
membeli barang dan jasa yang memuaskan kebutuhan. Sedangkan komoditi mempunyai
kepuasan intrinsik, seperti rumah untuk ditempati, mobil untuk dikendarai. Oleh
karena itu uang tidak boleh diperdagangkan dalam Islam.
2) Komoditas mempunyai kualitas yang
berbeda-beda, sementara uang tidak. Contohnya uang dengan nominal Rp. 100.000,-
yang kertasnya kumal nilainya sama dengan kertas yang bersih. Hal itu berbeda
dengan harga mobil baru dan mobil bekas meskipun model dan tahun pembuatannya
sama.[4]
3) Komoditas akan menyertai secara fisik
dalam transaksi jual beli. Misalnya kita akan memilih sepeda motor tertentu
yang dijual di showroom. Sementara
uang tidak mempunyai identitas khusus, kita dapat membeli mobil tersebut secara
tunai maupun cek. Penjual tidak akan menanyakan bentuk uangnya seperti apa.
Islam menempatkan fungsi uang semata-mata sebagai alat tukar dan bukan sebagai
komoditi, sehingga tidak layak untuk diperdagangkan apalagi mengandung unsur
ketidakpastian atau spekulasi (gharar)
sehingga yang ada adalah bukan harga uang apalagi dikaitkan dengan berlalunya
waktu tetapi nilai uang untuk ditukar dengan barang.
Apabila uang dipertukarkan dengan uang yang lain, maka
pertukaran tersebut harus dilakukan secara simultan (taqabud), dan tanpa penundaan (hulul).
Apabila dua orang saling mempertukarkan uang dengan kondisi di satu pihak
membayar tunai sementara pihak lainnya berjanji membayar di kemudian hari, maka
pihak pertama tidak akan dapat menggunakan uang yang dijanjikan untuk
bertransaksi hingga benar-benar uang tersebut dibayar, sehingga sebenarnya
pihak pertama telah kehilangan kesempatan. Dalam pandangan Ibnu Taimiyah hal
itulah yang menjadi alasan mengapa Rasulullah Saw. melarang jenis transaksi
seperti ini.
Ø Pencetakan Uang sebagai Alat Tukar Resmi.
Ibnu Taimiyah
hidup pada zaman pemerintahan Bani Mamluk. Pada saat itu harga-harga barang
ditetapkan dalam Dirham, yaitu mata uang peninggalan Bani Ayyubi. Karena
desakan kebutuhan masyarakat terhadap mata uang dengan pecahan lebih kecil,
maka Sultan Kamil Ayyubi memperkenalkan mata uang baru yang berasal dari
tembaga yang disebut dengan Fulus. Dirham ditetapkan sebagai alat transaksi
besar, dan Fulus digunakan untuk transaksi-transaksi dalam nilai kecil. Inilah
yang kelak kemudian menginspirasi pemerintahan Sultan Kitbugha dan Sultan
Dzahir Barquq untuk mencetak Fulus dalam jumlah sangat besar dengan nilai
nominal yang melebihi kandungan tembaganya (intrinsic
value). Akibatnya kondisi perekonomian semakin memburuk, karena nilai mata
uang menjadi turun. Berkenaan dengan adanya fenomena penurunan nilai mata uang
tersebut, Ibnu Taimiyah berpendapat sebagai berikut:
”Penguasa seharusnya mencetak fulus
(mata uang selain emas dan perak) sesuai dengan nilai yang adil (proporsional)
atas transaksi masyarakat, tanpa menimbulkan kezaliman terhadap mereka.”
Dari yang beliau nyatakan tersebut, dapat dipahami bahwa
beliau melihat adanya hubungan antara jumlah uang yang beredar di masyarakat,
total volume transaksi yang dilakukan, dan tingkat harga produk yang berlaku.
Pernyataan dalam kalimat pertama (penguasa seharusnya mencetak Fulus sesuai
dengan nilai yang adil (proporsional) atas transaksi masyarakat) dimaksudkan
untuk menjaga harga agar tetap stabil. Menurutnya, nilai intrinsik mata uang
harus sesuai dengan daya beli masyarakat di pasar sehingga tidak seorang pun,
termasuk pemerintah dapat mengambil untung dengan melebur uang dan menjualnya
dalam bentuk logam lantakan, atau mengubah logam tersebut menjadi koin dan
memasukkannya dalam peredaran mata uang, karena sifat-sifat alamiah uang yang
termasuk kategori token money,
semakin sulit bagi pemerintah untuk menjaga nilai uang. Yang dapat dilakukan
pemerintah adalah tidak mencetak uang selama tidak ada kenaikan daya serap
sektor riil terhadap uang yang dicetak tersebut. Melalui teori kuantitas
uangnya Irving Fisher di atas, hal ini dapat dijelaskan melalui persamaan:
MV = PT
Dimana M (Money) adalah jumlah uang beredar, V (Velocity) adalahkecepatan uang beredar, P (Price) adalah tingkat harga produk dan T (Trade) adalah nilai produk yang diperdagangkan. Apabila pemerintah
setiap kali butuh uang melakukan pencetakan mata uang tanpa memperhatikan daya
serap sektor riil, maka jumlah uang beredar di masyarakat, M akan meningkat.
Sementara bila V dan T tidak mengalami perubahan, dalam persamaan di atas agar
sisi kanan sama dengan sisi kiri, maka otomatis P akan naik. Dengan kata lain,
konsekuensi naiknya M akan mengakibatkan harga-harga produk mengalami kenaikan
(tidak stabil), yang berarti terjadi inflasi yang meningkat.
Ø Mata Uang
yang Buruk Akan Menyingkirkan Mata Uang yang Baik.
Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa uang yang berkualitas buruk
akan menyingkirkan mata uang yang berkualitas baik dari peredaran. Ia
mengambarkan hal ini sebagai berikut :
“Apabila penguasa membatalkan
penggunaan mata uang tertentu dan mencetak jenis mata uang yang lain bagi
masyarakat, hal ini akan merugikan orang-orang kaya yang memiliki uang karena
jatuhnya nilai mata uang lama menjadi hanya sebuah barang. Ia berarti telah
melakukan kezaliman karena menghilangkan nilai tinggi yang semula mereka
miliki. Lebih daripada itu, apabila nilai intrinsiknya mata uang tersebut
berbeda, hal ini akan menjadi sebuah sumber keuntungan bagi para penjahat untuk
mengumpulakan mata uang yang buruk dan menukarkannya dengan mata uang yang baik
dan kemudian mereka akan membawanya ke daerah lain dan menukarkannya dengan
mata uang yang buruk di daerah tersebut untuk dibawa kembali ke daerahnya.
Dengan demikian, nilai barang-barang masyarakat akan menjadi hancur.”
Pada pernyataan tersebut, Ibnu Taimiyah menyebutkan akibat
yang akan terjadi atas masuknya nilai mata uang yang buruk bagi masyarakat yang
sudah terlanjur memilikinya. Jika mata uang tersebut kemudian dinyatakan tidak
berlaku lagi sebagai mata uang, berarti hanya diperlakukan sebagai barang biasa
yang tidak memiliki nilai yang sama disbanding dengan ketika berfungsi sebagai
mata uang. Disisi lain, seiring dengan kehadiran nilai mata uang yang baru,
masyarakat akan memperoleh harga yang lebih rendah untuk barang-barang mereka.[5]
Di
bagian akhir pernyataan beliau di atas, dinyatakan bahwa uang yang berkualitas
buruk akan menyingkirkan uang dengan kualitas baik dari peredaran. Hal itu
akibat beredarnya mata uang lebih dari satu jenis pada saat itu dengan
kandungan logam mulia yang berbeda. Sebagaimana dinyatakan di atas, bahwa 1 Dirham
yang semula mengandung 2/3 perak dan 1/3 tembaga, sekarang menjadi terdiri
atas 1/3 perak dan 2/3 tembaga. Masyarakat yang masih memegang Dinar dan
Dirham lama termotivasi untuk menukar uangnya tersebut dengan
produk-produk dari luar negeri karena akan mendapatkan jumlah produk yang lebih
banyak atau lebih menguntungkan. Selanjutnya, makin banyak masyarakat beralih
pada penggunaan Fulus sebagai alat transaksi,. Akibatnya peredaran Dinar
sangat terbatas, Dirham berfluktuasi, bahkan kadang-kadang
menghilang. Sementara Fulus beredar secara luas. Banyaknya Fulus yang
beredar akibat meningkatnya kandungan tembaga dalam mata uang Dirham mengakibatkan
sistem moneter pada waktu itu tidak stabil.[6]
2.4 Uang Menurut
Ibn Khaldun
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam
kitab “Muqaddimah” yang ditulis oleh
Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan
oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi
negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila suatu negara
mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya
pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah tersebut tidak ada
nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak pembangunan suatu negara
karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan pendapatan pekerja, dan
menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi lainnya.
Dalam sejarah perekonomian
Islam, uang sebagai alat pertukaran dan pengukur nilai tersebut, telah dicetak
sejak zaman Khalifah Umar dan Utsman, bahkan mata uang yang dicetak pada masa
Khalifah Ali masih tersimpan dalam sebuah museum di Paris. Hal ini menunjukkan
bahwa dunia Islam telah mengenal mata uang jauh sebelum Adam Smith, Bapak Ekonomi Konvensional, menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766.
Ibnu Khaldun juga menjelaskan
bahwa kekayaan suatu negara tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara
tersebut, tetapi ditentukan oleh tingkat produksi negara tersebut dan neraca
pembayaran yang positif. Apabila suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya,
tetapi bukan merupakan refleksi pesatnya pertumbuhan sector produksi, maka uang
yang melimpah tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor
penggerak pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja,
meningkatkan pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap
produksi lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika
nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau
penurunan harga barang semata-mata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga setiap barang akan
memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota makanan yang tersedia
lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan akan murah, demikian pula
sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau sebagian besar jenis barang
tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga keseimbangan setiap jenis
barang, karena jika satu barang harganya naik, namun karena tidak terjangkau
oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Ø Uang
sebagai Ukuran Harga
Imam Ghazali (w. 505
H) menegaskan bahwa Allah menciptakan dinar dan dirham sebagai hakim penengah
di antara seluruh harta agar seluruh harta bisa diukur dengan keduanya.
Dikatakan, unta ini menyamai 100 dinar, sekian ukuran, maka keduanya bernilai
sama.
Ø Uang
sebagai media transaksi
Uang menjadi media
transaksi yang sah yang harus diterima oleh siapa pun bila ia ditetapkan oleh
negara. Inilah perbedaan uang dengan media transaksi lain seperti cek. Berlaku
juga cek sebagai alaat pembayaran karena penjual dan pembeli sepakat menerima
cek sebagai alat bayar.[7]
Umar bin khattab
berkata,”saat aku ingin menjadikan uang dari kulit unta, ada orang yang
berkata,’ kalau begitu unta akan punah’ maka aku batalkan keinginan tersebut”
Sebaliknya emas dan
perak tidak serta merta menjadi uang bila tidak ada stempel (sakkah) negara.
Imam nawawi berkata,”makruh bagi rakyat biasa mencetak sendiri dirham dan
dinar,sekalipun dari bahan yang murni sebab pembuatan tersebut adalaah wewenang
pemerintah. Kemudian apabila dirham magsyusah
tersebut dapat diketahui kadar campurannya, maka boleh menggunakannya baik
dengan kebendaannya maupun nilainya. Adapun jika kadar campuran tersebut tidak
diketahui, maka disini ada dua pendapat. Dan pendapat yang paling shahih mengatakan hukumnya boleh. Sebab
yang dimaksudkan adalah lakunya di pasaran. Dan campuran dari tembaga yang
terdapat pada dirham tersebut tidak mempengaruhi, sebagaimana halnya adonan.
Ø Uang
sebagai media penyimpan nilai
Ibn khaldun
megisyaratkan uang sebagai alat simpanan. Ia menyatakan bahwa Allah Ta’ala
menciptakan dari dua barang tambang, emas, dan perak,sebagai nilai untuk setiap
harta. Dua jenis ini merupakan simpanan dan perolehan orang-orang di dunia
kebanyakan.[8]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Uang adalah pengganti materi terhadap segala
aktifitas ekonomi, yaitu media atau alat yang memberikan kepada pemiliknya daya
beli untuk memenuhi kebutuhannya, juga dari segi peraturan perundang-undangan
menjadi alat bagi pemiliknya untuk memenuhi segala kewajiban.
Menurut
Al-Ghazali dan Ibn Khaldun defenisi uang adalah apa yang digunakan manusia
sebagai standar ukuran nilai harga, media transaksi pertukaran, dan media
simpanan. Sedangkan menurut Ibn Taimiyah uang adalah nilai harga komoditas.
Dengan semakin
berkembangnya kehidupan ekonomi, manusia menyadari akan pentingnya kehadiran
uang sebagai alat tukar.perkembangan tersebut didiringa dengan adanya penemuan
emas dan perak yang berfungsi sebagai alaat tukar. Kemudian ada keinginan untuk
menggunakan kertas sebagai uang. Ekonomi menjelaskan, bahwa segala sesuatu bisa
digunakan sebagi uang asalkan dapat diterima semua pihak untuk dijadikan
sebagai alat tukar.
3.2 Saran
Dengan
penjelasan di atas diharapkan kepada para pembaca untuk dapat memahami dan
mampu untuk mengaplikasikannya dengan baik.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Ahmad, Mata Uang Islami. Jakarta;
PT Raja Grafindo Persada, 2005
Karim,
Adiwarman,Ekonomi Makro Islami, Jakarta:
PT Raja grafindo Persada,2011
Marthon,sa’id,Ekonomi Islam,Jakarta:Bestari Buana
Murni,2004
Nasution,
Mustafa Edwin, Pengenalan eksklusif ekonomi islam. Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2007
[1]
Mustafa edwin nasution, pengenalan eksklusif
ekonomi islam, (jakarta: kencana prenada group, 2007), hal: 70
[2]
Ibid, hal: 73-74
[3]
Ahmad hasan, mata uang islam, (jakarta:
PT Raja Grafindo Persada, 2005), hal: 45
[4]
Ibid, hal: 46-47
[5]
Said Sa’ad Marthon,Ekonomi Islam, (Jakarta:Bestari
Buana Murni,2004), hlm.117
[6]
Ibid, hal: 119-120
[7]
Adiwarman A.Karim, Ekonomi Makro Islam,
(Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2011), hlm: 81
[8]
Ibid, hal: 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar